Beranda | Artikel
Fikih Nikah (Bag. 9)
Jumat, 1 April 2022

Baca pembahasan sebelumnya Fikih Nikah (Bag. 8)

Talak Ditinjau dari Waktu Terjadinya

Ditinjau dari segi waktu terjadinya, talak terbagi menjadi tiga, yaitu: talak munjaz, talak mudhaf, dan talak mu’allaq.

Pertama, talak munjaz

Yaitu yang diniatkan oleh pengucapnya agar talaknya jatuh saat itu juga. Misalnya, ucapan suami kepada istrinya, “Anti Thaaliq.” (Engkau tertalak) dan yang semisalnya.

Hukumnya:

Talak tersebut jatuh sejak suami mengucapkan kalimat talak tersebut kepada istrinya.

Kedua, talak mudhaf

Yaitu yang dikaitkan dengan waktu tertentu. Misalnya, ucapan suami kepada istrinya, “Tanggal 30 bulan depan kamu tertalak.”

Hukumnya:

Pendapat mayoritas ulama adalah talak ini terlaksana saat waktu jatuh temponya sudah datang. Sehingga, istri tertalak sejak datangnya waktu yang disebutkan dalam kalimat talak.

Ketiga, talak mu’allaq

Yaitu talak yang diucapkan suami kepada istrinya dan diiringi dengan syarat. Misalnya, ucapan suami kepada istri, “Jika Engkau pergi meninggalkan rumah, maka Engkau tertalak.”

Hukumnya:

Ada dua kemungkinan dari niat suami ketika mengucapkannya:

Kemungkinan pertama, niat agar talaknya jatuh tatkala syaratnya tersebut terpenuhi. Jika istri mengerjakan apa yang disyaratkan dalam talak tersebut, maka talak terjadi.

Kemungkinan kedua, hanya bermaksud memperingatkan istri agar tidak berbuat hal yang disyaratkan dan bukan dalam rangka menalak. Maka, hukumnya sebagaimana sumpah. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka suami tidak dibebani apa-apa. Namun, jika syaratnya tersebut terpenuhi, yaitu istri melanggar apa yang disampaikan suaminya, maka suami wajib membayar kafarat. Demikian keterangan yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fataawaa (XXXIII/44-46, 58-60, 64-66).

Talak Ditinjau dari Boleh atau Tidaknya Rujuk

Ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk, talak dibagi menjadi dua, yaitu: talak raj’i dan talak ba’in. Adapun rinciannya sebagai berikut:

Pertama, talak raj’i

Yaitu talak yang dilakukan suami terhadap istri yang telah dipergaulinya, tanpa menerima pengembalian mahar dari pihak istri (bukan karena gugat cerai dari istri), dan belum didahului talak sama sekali (talak pertama) atau baru didahului talak satu kali (talak kedua).

Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

الطَّلَقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْـسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَـنٍ ۗ …

“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik…” (QS. Al-Baqarah: 229)

Hukum-hukum yang terkait adalah sebagai berikut:

Hukum pertama, seorang wanita yang mendapat talak raj’i maka statusnya masih sebagai istri selama dia masih berada dalam masa idah(menunggu).

Hukum kedua, jika salah satu dari keduanya meninggal, baik suami maupun istri, dan belum habis masa idahnya, maka yang ditinggalkan berhak mendapatkan warisan yang meninggal karena keduanya masih berstatus sebagai suami istri.

Hukum ketiga, suami berhak untuk rujuk kepadanya kapan saja dia berkehendak selama istri masih di dalam masa idahnya, serta tidak disyaratkan adanya keridaan istri atau izin dari walinya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالْمُـطَلًّـقَـتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُـسِهِـنَّ ثَلَـثَةَ قُـرُوءٍ ۚوَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُـمْنَ مَا خَلَـقَ اللهُ فِى أَرْحَا مِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤمِنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ ۚ وَبُعُو لَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَا لِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَـحًا ۚ…

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti, jika mereka (para suami) menghendaki perbaikan…” (Qs. Al-Baqarah: 228)

Baca Juga: Masuk Islam, Haruskah Mengulang Akad Nikah?

Kedua, talak ba’in

Yaitu talak yang seorang suami sudah tidak memiliki hak untuk merujuk istrinya kembali. Talak ini terbagi menjadi dua bagian:

a) Talak ba’in shughra, yaitu talak yang terjadi di mana suami tidak memiliki hak untuk rujuk kembali dengan istri, kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru, serta dengan keridaan istri yang dicerai. Talak ini terjadi pada tiga keadaan: (1) suami tidak merujuk istrinya dari talak raj’i hingga masa idah; (2)  suami menalak istrinya sebelum mencampurinya (pengantin baru); (3) cerai yang terjadi karena gugatan/ permintaan dari istri (khulu’).

b) Talak ba’in kubra, yaitu talak yang mana mantan suami itu sudah tidak memiliki hak untuk rujuk dengan mantan istrinya, kecuali mantan istrinya telah dinikahi laki-laki lain secara alami, artinya bukan nikah tahlil. Nikah tahlil adalah pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang telah ditalak tiga dengan maksud untuk diceraikan agar suami yang pertama bisa menikah lagi dengan wanita tersebut. Baik sebelumnya ada konspirasi antara suami pertama dengan suami kedua maupun tidak. Syarat lainnya, laki-laki lain tersebut juga telah mencampurinya secara hakiki, kemudian mantan istrinya itu berpisah dengan laki-laki tersebut, baik karena suaminya meninggal atau karena cerai, dan setelah habis masa idah mantan istrinya tersebut, maka baru ia dibolehkan untuk menikahi mantan istrinya tersebut. Namun, harus dengan akad baru, mahar baru, dan tentu saja dengan keridaan mantan istrinya tersebut.

Talak dengan Niatan Bercanda, Apakah Dianggap?

Ibnu Qudamah Rahimahullah di dalam kitab Al-Mughni menyebutkan,

“Mayoritas ulama berpendapat bahwa talak dalam keadaan bercanda itu terjadi dan dianggap.”

Hal ini juga berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

ثلاث جدهن جد وهزلهن جد: النكاح، والطلاق والرجعة

“Ada tiga perkara, baik dilakukan dengan serius atau dengan main-main hukumnya tetap berlaku: nikah, talak, dan rujuk.” (HR. Abu Dawud no. 2194, Tirmidzi no. 1184, dan Ibnu Majah no. 2039)

Bagaimanakah Hukum Jika Suami Sudah Meniatkan Cerai, Namun Belum Mengucapkannya?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa suami yang meniatkan talak, namun belum mengucapkannya maka talaknya tidak dianggap. (Al-Mughni: 8/263)

Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إن الله تجاوز عن أُمَّتي ما حدثت به أنفسها ما لم تعمل أو تتكلم

Sesungguhnya Allah memaafkan bisikan hati dalam diri umatku, selama belum dilakukan atau diucapkan.(HR. Bukhari no. 5270)

Di dalam riwayat lain disebutkan,

Seseorang datang bertanya kepada Al-Hasan dan dia berkata, “Aku telah menalak istriku, namun hanya dalam hati saja.” Al-Hasan bertanya, “Apakah kamu mengatakan sesuatu dari mulutmu?” Orang tersebut menjawab, “Tidak.” Al-Hasan berkata, “Maka, itu bukanlah talak.” (Musannaf Abdurrazzaq, 6: 412).

Baca Juga: Janji Allah Akan Menolong Orang yang Menikah Untuk Menjaga Kehormatan

Menceraikan Istri dalam Keadaan Mabuk, Apakah Dianggap?

Telah kita ketahui bahwa talaknya orang yang belum dewasa, orang gila, dan orang yang dalam kondisi tidur tidaklah terjadi dan tidak dianggap. Berdasarkan sabda nabi,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (balig), dan [3] orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).” (HR. Tirmidzi no. 1423, Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no.  7346, dan Ahmad no. 956)

Lalu, bagaimana dengan orang yang dalam keadaan mabuk, apakah talaknya dianggap?

As-Syaukani Rahimahullah dalam kitab Nailul Authaar menyebutkan,

“Orang yang mabuk sehingga ia hilang ingatan, maka talaknya tidak dihukumi (tidak sah) karena tidak adanya otoritas dan alasan yang menjadi dasar penetapan hukum baginya (akal). Dan syariat juga telah menetapkan hukuman bagi para pemabuk, maka tidak boleh bagi kita untuk melewati batas lalu mengatakan, ‘Talaknya terjadi sebagai hukuman atas mabuknya.’ sehingga terkumpul baginya dua hukuman.”

Hal ini juga merupakan pendapat Imam Bukhari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, serta Imam Ibnul Qayyim Rahimahumullah.

Beberapa dalilnya adalah, Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisa: 43).

Di dalam ayat ini Allah Ta’ala menjadikan perkataan orang yang dalam keadaan mabuk tidak dianggap dan tidak ada harganya karena ia tidak mengetahui apa yang diucapkannya.

Sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu berkata,

ليس لمجنون ولا لسكران طلاق

 “Tidak ada talak bagi orang gila dan orang mabuk”. (Musannaf Ibnu Abi Syaibah, 4: 24).

Wallahu a’lam bisshowaab.

Baca Juga:

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.


Artikel asli: https://muslim.or.id/73512-fikih-nikah-bag-9.html